Apakah Sistem Politik di Indonesia Rasial?

Ilustrasi/MI (Usman Kansong) Ilustrasi/MI (Usman Kansong)

Dadali: Pengamat politik menilai praktik politik di Indonesia secara umum cukup rasial. Contohnya, belum ada seorang pun yang pernah menjabat sebagai presiden di Indonesia berasal dari luar Jawa. 

“(Hal tersebut) cukup rasial bagi saya,” kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno dalam diskusi virtual Crosscheck dengan tajuk “Pigai Diantara Ambroncius dan Abu Janda“ yang disiarkan melalui akun YouTube Medcom.id pada Minggu, 31 Januari 2021.

Menurutnya, pola pikir masyarakat Indonesia saat ini cukup rasial. Mayoritas mereka masih berorientasi kepada Jawa atau Jawa minded. Kondisi inilah yang mempersulit orang dari luar pulau Jawa, seperti Kalimantan, Sulawesi, hingga Papua untuk menjabat di posisi kunci di struktur politik. 

“Bahkan, kalau kita tanya dalam berbagai survei bertahun-tahun, kira-kira siapa yang Anda pilih antara Jawa atau non-Jawa, pasti (mereka memilih) orang Jawa,” ucap Adi.

Artinya, mental model yang terbangun di tengah masyarakat Indonesia sudah rasial sejak awal. Selain terkait suku, Adi juga menyoroti preferensi pemilihan yang berdasarkan agama. Agama Islam, sebut Adi, pasti yang akan dipilih kebanyakan orang.

“Itu kan termasuk (isu) suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). SARA dalam arti yang lebih mengedepankan agama-agama mayoritas dengan menafikan pihak yang lain,” ujarnya.

Isu-isu seperti itulah yang masih menjadi pekerjaan rumah untuk Indonesia. Pola pikir rasial yang sudah tertanam di masyarakat Indonesia ada baiknya untuk dihilangkan. Sehingga, ia meminta kepada siapa pun untuk tidak memperkeruh situasi dengan ujaran kebencian yang bernuansa SARA.

“Hal ini jangan ditambah dengan kasus-kasus yang menghina, merendahkan, dan melecehkan kelompok-kelompok lain. Karena, ini akan menyulut sumbu pendek,” tuturnya.

Politikus Partai Hanura, Ambroncius Nababan, sempat mengunggah foto eks Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Natalius Pigai, yang disandingkan dengan foto gorila di akun Facebook-nya. Tak hanya foto, Ambroncius juga menyertakan kalimat yang bernada satire pada unggahannya.

"Mohon maaf yang sebesar-besarnya. Vaksin Sinovac itu dibuat untuk manusia bukan untuk gorila apalagi kadal gurun. Karena menurut UU, Gorila dan kadal gurun tidak perlu divaksin. Faham?” tulis Ambroncius di posting-an tersebut. 

Akhirnya, unggahan itu menjadi viral di media sosial karena dinilai rasis. Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Papua Barat pun akhirnya membuat laporan di Polda Papua Barat dengan nomor LP/17/I/2021/Papua Barat pada 25 Januari 2021. Kasus itu sekarang diambil alih Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri. 

Pada 26 Januari 2021, Ketua Umum Projamin (Relawan Pro Jokowi-Amin) itu ditetapkan sebagai tersangka terkait kasus dugaan tindakan rasisme kepada Pigai. Ia resmi ditahan oleh penyidik Bareskrim Polri usai menjalani pemeriksaan, terhitung mulai 27 Januari 2021.

Akibat perbuatannya, Ambroncius Nababan disangkakan Pasal 45A ayat 2 Juncto Pasal 28 ayat 2 UU Nomor 19 Tahun 2016 Perubahan UU ITE dan Pasal 16 Juncto Pasal 4 huruf B ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Selain itu, ada Pasal 156 KUHP dengan ancaman penjara di atas 5 tahun.



(SYI)

Berita Terkait