Dadali: Semenjak covid-19 mewabah, banyak kegiatan baru lahir seiring dengan terbatasnya aktivitas kita di rumah. Salah satunya tren tanaman hias yang sempat populer.
Banyak orang mencari kegiatan alternatif di rumah agar tidak bosan. Menjadi pegiat tanaman hias menjadi pilihan. Melansir Vox, ternyata hal tersebut membuat ledakan permintaan yang memberikan efek lingkungan yang sulit untuk diatasi.
Uniknya tren ini bukan hanya terjadi di Indonesia lho, melainkan juga terjadi di berbagai negara lainnya. Keinginan bersama secara global untuk membawa penghijauan ke rumah kita berasal dari reaksi terhadap kecemasan akibat perubahan iklim.
Sebagian besar tren ini dipicu di media sosial. Menurut analisis dari perusahaan manajemen media sosial Sprout Social, tanaman hias disebutkan di Instagram rata-rata lebih dari 3.000 kali sehari pada Juli 2020.
Baca juga: 5 Masalah Lingkungan Ini Disebut Harus Menjadi Fokus Dunia 2021
Kemudian, laporan dari majalah Greenhouse Management dengan judul ‘2020 State of the Industry’, 71 persen industri penyedia tanaman di Amerika Utara mengalami peningkatan penjualan tanaman 67 persen pada 2020, dan tren ini akan berlanjut sepanjang tahun ini.
Pertumbuhan pasar ini sayangnya diikuti dengan industri pertanian yang semakin mengandalkan otomatisasi, menyebarkan volume air yang besar, menggunakan petak lahan yang luas dan mengontrol pertumbuhan melalui kondisi panas dan pencahayaan yang ketat. Tentu hal tersebut bukanlah hal yang baik.
Selain itu penggunaan pupuk, pestisida, dan teknik irigasi yang meningkatkan efisiensi, ternyata juga menjadi salah satu alasanya. Sudah banyak kritik atas dampak lingkungan dari praktik tersebut.
Pestisida dan pupuk larut ke dalam tanah dan saluran air terdekat, berpotensi meningkatkan tingkat toksisitas dan berkontribusi terhadap pertumbuhan alga yang berbahaya bagi lingkungan lho. Sayangnya pemahaman publik tentang dampak ekologis dari ledakan tanaman hias belakangan ini masih relatif sedikit.
(NAI)