Dadali: Menjalankan ibadah puasa pada Ramadan hukumnya adalah wajib bagi seluruh umat Islam. Puasa merupakan ibadah yang sangat istimewa dan ditujukan untuk meningkatkan ketakwaan. Perintah ibadah puasa tercantum dalam Surat Al-Baqarah ayat 183 yang berbunyi:
“Ya ayyuhallazina amanu kutiba ‘alaikumus-siyamu kama kutiba ‘alallazina ming qablikum la’allakum tattaqun.”
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa.”
Tetapi, di balik kewajiban umat Islam menunaikan ibadah puasa Ramadan, terdapat golongan orang yang diperbolehkan untuk tidak berpuasa. Salah satunya, yakni perempuan yang sedang haid. Nabi Muhammad SAW pernah bersabda:
“Bukankah wanita itu jika sedang haid, tidak salat dan tidak berpuasa?” Mereka menjawab,: Ya.” (HR Bukhari).
Kemudian hadis berikutnya diriwayatkan oleh Aisyah, berikut bunyinya:
“Kami pernah kedatangan hal itu (haid), maka kami diperintahkan meng-qada puasa dan tidak diperintahkan meg-qada salat.” (HR Muslim).
Meski begitu, masih banyak yang bertanya-tanya apakah perempuan yang sedang haid boleh ikut berpuasa atau tidak. Lalu, bagaimana dengan hukumnya?
Sebagian ulama ada yang menyebutkan bahwa larangan seorang perempuan untuk berpuasa ketika haid merupakan bentuk rahmat Allah kepada para perempuan. Larangan berpuasa bagi perempuan disebut bersifat ta’abudi (ibadah semata). Hal itu seperti disampaikan oleh Al hafidz Ibnu Hajar -rahimahullah-.
“Larangan salat bagi perempuan haid adalah perkara yang telah jelas karena kesucian dipersyaratkan dalam salat dan perempuan haid tidak dalam keadaan suci. Ada pun puasa tidak dipersyaratkan di dalamnya kesucian maka larangan puasa bagi perempuan haid itu sifatnya adalah ta’abudi. Sehingga butuh suatu nash pelarangan berbeda dengan salat.” (Fathul Bari Syarh hadis nomor 304).
Lebih lanjut, dilansir dari Itnujabar.or.id, terdapat kutipan-kutipan ijma para ulama yang menjelaskan apabila seorang perempuan memilih berpuasa ketika haid dan nifas, maka puasanya tidak sah dan haram hukumnya apabila tetap melakukannya.
Berbeda dengan musafir, wanita yang tidak berpuasa karena haid maupun nifas bukan karena rukhshah atau keringanan untuk mereka. Melainkan karena agama memang melarang mereka untuk berpuasa. Sementara kalau musafir, mereka diperbolehkan untuk tidak berpuasa tetapi di saat bersamaan mereka pun juga boleh tetap berpuasa.
Berikut beberapa kutipan dari para ulama mazhab terkait puasa bagi wanita yang sedang haid dan nifas:
Al-Imam Abi al-Ma’ali Abdul Malik Ibn Abdillah Ibn Yusuf al-Juwaini (w.478H)
“Umat (ulama) telah berijma bahwa yang wajib dilakukan itu adalah puasa yang sah dilakukan. Kemudian, mereka sepakat tidak sah puasa wanita haid. Karena, bagaimana bisa sah, sedangkan telah ada ijma wanita haid dianggap bermaksiat kepada Allah apabila mereka menahan diri dari yang membatalkan sembari tetap berniat berpuasa.” (Al-Juwaini, al-Talkhish Fi Ushul al-Fiqh, volume 1, halaman 422-433).
Al-Imam Abu Muhammad Baha’uddin Abdurrahman Ibn Ibrahim Ibn Ahmad al-Maqdisi (w.624H)
“Wanita haid dan nifast mesti berbuka dan meng-qada puasa tersebut berdasaran ijma dan jika mereka tetap berpuasa maka belum sah berdasarkan ijma.” (Baha’uddin al-Maqdisi, al-‘Uddah Syarh al-‘Umdah, volume 1, halaman 41).
Al-Imam Tajuddin Abdul Wahhab Ibn ‘Ali Ibn Abdil Kafi al-Subuki (w.771H)
“Larangan berpuasa menurut agama bagi wanita haid adalah berdasarkan ijma, sehingga mereka haram berpuasa dan memang tidak sah.” (Al-Subuki, al-Ibhaj Fi Syarh Minhaj al-Wushul Ila ‘IIm al-Ushul, volume 1, halaman 79).
(SYI)